Tuesday, February 26, 2013

GAMBARAN PERILAKU PENGGUNAAN KONDOM DI KALANGAN PEKERJA BERPINDAH (MOBILE MAN) YANG MENJADI PELANGGAN WPS



PENDAHULUAN
Prevalensi infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil Survey Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2007, prevalensi gonore dan klamidia pada wanita penjaja seks (WPS) masing-masing sebesar 32% dan 35%. Sementara itu, prevalensi sifilis pada WPS sebasar 14,6% dan HIV sebesar 10,4%. Tingginya prevalensi IMS di kalangan penjaja seks komersial merupakan akibat dari perilaku seksual beresiko. Seorang wanita penjaja seks (WPS) bisa melayani lebih dari satu orang pelanggan. Perilaku berganti-ganti pasangan seksual inilah yang berpotensi menularkan IMS. Pada kelompok lelaki pelanggan, penularan IMS dapat berlanjut kepada pasangan tetapnya/ istri. Sebagai imbasnya, kejadian IMS ini tidak hanya menular di kalangan penjaja seks, tetapi sudah mulai merambah pada populasi umum seperti ibu rumah tangga.
Penularan IMS kepada ibu rumah tangga terjadi melalui hubungan seks dengan suami yang kemungkinan besar merupakan pelanggan dari wanita penjaja seks. Saat ini, fenomena suami yang menjadi pelanggan dari WPS sangat banyak ditemukan. Salah satu kelompok yang biasa menjadi pelanggan WPS adalah lelaki pekerja berpindah (mobile man) seperti supir truk, supir bus antarprovinsi, pelaut, pekerja konstruksi bahkan kalangan eksekutif yang sering bepergian ke luar kota.
Merebaknya fenomena pemanfaatan jasa seks oleh pekerja berpindah didorong oleh berbagai faktor.  Faktor pertama adalah karena kebutuhan biologis untuk berhubungan seksual. Dorongan untuk melakukan hubungan seksual bisa datang kapan saja. Akan tetapi, karena pasangan tetap/ istri tidak selalu ada, maka pelampiasannya adalah kepada WPS. Faktor kedua yang juga membuat lelaki pekerja berpindah melakukan hubungan seksual dengan WPS adalah karena tersedianya sarana dan prasarana untuk melakukan hal tersebut. Di sepanjang jalan Pantura misalnya, pangkalan WPS dapat dengan mudah ditemukan di pinggiran jalan. Dengan tarif yang tidak terlalu mahal, para lelaki ini bisa melepaskan lelah sambil menyalurkan hasrat seksualnya kepada WPS yang disewanya.
Perilaku seksual beresiko yang dilakukan oleh lelaki pekerja berpindah ini ternyata tidak diimbangi dengan upaya pencegahan penularan IMS. Padahal, sebenarnya penularan IMS dapat dicegah salah satunya dengan penggunaan kondom. Minimnya kesadaran dan pengetahuan dari pelanggan jasa seks juga menjadi salah satu faktor yang membuat upaya pencegahan penularan IMS sulit dilakukan. Selain itu, selama ini intervensi hanya terfokus pada WPS, sementara intervensi terhadap pelanggan masih diabaikan. Padahal, dalam kenyataannya, justru pelanggan jasa seks yang sebagian besar adalah lelaki pekerja berpindah (mobile man) merupakan populasi kunci yang berpotensi menularkan IMS kepada populasi yang lebih luas, yakni lewat pasangan tetapnya/ istrinya.

PENGGUNAAN KONDOM DI KALANGAN PEKERJA BERPINDAH (MOBILE MAN)
Kelompok pekerja berpindah/ mobile man merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap perilaku beresiko. Faktor pekerjaan membuat mereka lebih banyak berada di luar rumah sehingga waktu yang tersedia untuk melepaskan dorongan seksual kepada pasangan tetapnya (istrinya) menjadi sangat terbatas. Sementara itu, keinginan untuk melakukan hubungan seksual merupakan suatu dorongan biologis yang bisa muncul kapan saja. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan pekerja berpindah memilih untuk melepaskan dorongan seksualnya kepada wanita penjaja seks (WPS).
Di Indonesia, fenomena pekerja berpindah yang memanfaatkan jasa WPS sangat mudah ditemukan, terutama di titik-titik jalur perjalanan utama antarkota seperti jalur Pantai Utara (Pantura) dan jalur lintas Sumatera. Biasanya, pekerja yang memanfaatkan jasa ini adalah supir-supir truk yang biasa melintas di jalur ini. Supir-supir truk ini melakukan hubungan seksual ketika mereka sedang singgah untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Selain Pantura dan lintas Sumatera, pelabuhan-pelabuhan juga merupakan salah satu tempat yang dijadikan tempat transaksi antara para pekerja berpindah dengan WPS. Jika di Pantura dan lintas Sumatera sebagian besar pekerja berpindah berprofesi sebagai supir, maka di pelabuhan pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS bervariasi dari supir truk, nelayan hingga para pelaut.
Dalam melakukan transaksi penjualan jasa seks, biasanya terdapat proses tawar-menawar antara WPS dengan pekerja berpindah yang menjadi pelanggannya. Tawar-menawar itu berkaitan dengan harga yang harus dibayar oleh pelanggan dan juga seringkali terkait hubungan seks yang akan dilakukan. Tidak jarang, WPS meminta pelanggan untuk memakai kondom sebelum melakukan hubungan seksual. Akan tetapi, sebagian besar pelanggan menolak untuk memakai kondom dengan alasan bahwa penggunaan kondom akan mengurangi kenikmatan saat melakukan hubungan seksual. Selain itu menurut pengakuan WPS, penggunaan kondom akan menurunkan tarif yang harus dibayar oleh pelanggan. Akhirnya karena dua alasan ini, banyak hubungan seksual antara pekerja berpindah dengan WPS dilakukan tanpa menggunakan kondom.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan kondom di kalangan pelanggan jasa seks masih sangat rendah. Berdasarkan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi penggunaan kondom di kalangan pelanggan hanya sebesar 20%. Pada penelitian lain yang dilakukan terhadap pekerja berpindah di wilayah Pantai Utara Jawa dan Sumatera Utara pada tahun 2007, diketahui bahwa jumlah responden yang mengaku menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seks terakhir hanya sebanyak 16%.
Rendahnya penggunaan kondom di kalangan pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor pertama adalah persepsi dari pelanggan bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan saat berhubungan seksual. Alasan lainnya adalah pelanggan merasa kerepotan saat harus menggunakan kondom sebelum melakukan hubungan seks. Faktor kedua yang menyebabkan pelanggan enggan menggunakan kondom adalah kurangnya pengetahuan pelanggan akan resiko hubungan seksual tidak aman. Pelanggan seringkali tidak menyadari bahwa dirinya berpotensi untuk tertular berbagai infeksi menular seksual dari WPS yang melayaninya. Hal lain yang seringkali diabaikan pelanggan adalah bahwa dirinya juga dapat membawa infeksi menular seksual yang didapat dari WPS dan menularkannya kepada pasangan tetapnya (istri) di rumah. Kondisi inilah yang berujung pada tingginya kasus IMS di kalangan ibu rumah tangga.
Selain persepsi dan pengetahuan pelanggan, kemampuan tawar dari WPS juga sangat mempengaruhi pelanggan untuk menggunakan kondom. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2010, diketahui bahwa tidak sedikit WPS yang menawarkan kondom kepada pelanggannya sebelum melakukan hubungan seksual. Dari sejumlah WPS yang menawarkan penggunaan kondom, sekitar 54,8% WPS mengaku tidak akan melayani pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. Sayangnya, pada kondisi lain lebih banyak ditemukan WPS yang akhirnya mengalah kepada pelanggan dengan alasan jika hubungan seks dilakukan dengan menggunakan kondom, tarif yang dibayarkan kepada WPS menjadi jauh lebih rendah. Faktor ekonomi yang akhirnya membuat WPS mengikuti keinginan pelanggan untuk melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom.
Fenomena penggunaan kondom di kalangan pelanggan WPS di Indonesia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sangat berbeda dengan yang terjadi di Thailand. Selain karena adanya regulasi yang mewajibkan pelanggan harus memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan WPS, WPS di Thailand juga dilatih untuk bisa memakaikan kondom kepada pelanggannya. Pemasangan kondom oleh WPS kepada pelanggannya dilakukan dengan cara khusus sehingga pelanggan tidak merasa kerepotan ataupun risih ketika memakai kondom. Dengan cara ini, maka persepsi bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan saat berhubungan seksual dapat dikikis sedikit demi sedikit.
Dua langkah yang dilakukan oleh pemerintah Thailand perlu dicontoh oleh Indonesia. Selain dua langkah di atas, peningkatan pengetahuan kepada para pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS juga perlu dilakukan. Selama ini intervensi lebih banyak dilakukan kepada kelompok WPS, sementara edukasi kepada pelanggan jarang sekali dilakukan. Kurangnya pengetahuan pelanggan tentang perilaku seksual beresiko, pencegahan dan penularan IMS merupakan salah satu hal yang membuat negosiasi antara WPS dan pelanggan menjadi sulit dilakukan. Hal ini berkaitan juga dengan kesadaran pelanggan bahwa dirinya beresiko tertular infeksi menular seksual dari WPS yang melayaninya. Tanpa pengetahuan yang komprehensif, maka kesadaran tersebut tidak akan tumbuh.
Kesadaran lain yang tidak kalah penting untuk ditanamkan kepada pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS adalah bahwa perilaku seksual beresiko yang dilakukan dengan wanita penjaja seks juga dapat menularkan infeksi menular seksual kepada pasangan tetapnya (istri) di rumah. Seperti telah dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa pekerja berpindah yang melakukan hubungan seksual dengan WPS di tempat-tempat mereka singgah dapat membawa infeksi menular seksual kepada pasangan tetapnya (istri). Wanita penjaja seks (WPS) yang telah melayani lebih dari satu pelanggan tentunya berpotensi untuk mengalami infeksi menular seksual. Infeksi ini kemudian bisa ditularkan kepada pekerja berpindah yang menjadi pelanggannya. Selanjutnya, ketika pekerja berpindah ini pulang ke rumah dan melakukan hubungan seksual dengan istrinya, maka infeksi menular seksual juga akan menyebar kepada istrinya bahkan jika terjadi kehamilan, infeksi mungkin menular ke anaknya.
Luasnya penyebaran infeksi menular seksual ini sebenarnya dapat dicegah salah satunya dengan penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menggalakkan penggunaan kondom pada kelompok beresiko termasuk para pelanggan jasa seks. Penyediaan kondom gratis di tempat-tempat transaksi antara pelanggan dan WPS merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan. Akan tetapi, hasilnya masih belum maksimal karena berbagai alasan yang telah disebutkan di atas.


KESIMPULAN
Penggunaan kondom di kalangan pekerja berpindah (mobile man) yang menjadi pelanggan jasa seks masih relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah karena persepsi bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan saat melakukan hubungan seksual. Minimnya penggunaan kondom yang merupakan salah satu pencegah penularan IMS ini merupakan salah satu hal yang menyebabkan menyebarnya penularan IMS ke populasi umum. Pekerja berpindah yang berhubungan seks dengan WPS tanpa menggunakan kondom dapat membawa organisme penyebab IMS pada alat kelaminnya yang kemudian dapat menularkan kepada pasangan tetapnya/ istrinya di rumah. Intervensi berupa edukasi mutlak diperlukan terhadap para pekerja berpindah yang menjadi pelanggan jasa seks agar kesadaran tentang bahaya penularan IMS dapat tumbuh dalam diri mereka, sehingga perilaku penggunaan kondom di kalangan pelanggan dapat meningkat.  


DAFTAR PUSTAKA 
[1]   Arifianti, NA, et all 2008, ‘Analisis Faktor-Faktor Penyebab Niat Wanita Pekerja Seks (WPS) yang Menderita IMS Berperilaku Seks Aman (Safe Sex) dalam Melayani Pelanggan’, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, Vol. 3, No. 2, hal. 102-114. 
[2]   Dadun, et all 2011, ‘Perilaku Seks Tak Aman Pekerja Berpindah di Pantai Utara Jawa dan Sumatera Utara Tahun 2007’, Jurnal Kesehatan Reproduksi, Vol. 1, No. 2, hal. 92-101.
[3]   Depkes RI 2009, Analisis Kecenderungan Perilaku Beresiko terhadap HIV-AIDS di Indonesia; Laporan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku Tahun 2007, Depkes RI, Jakarta.
[4]   Hafrida, et all 2008, ‘Evaluasi Promosi Penggunaan Kondom untuk Mencegah HIV-AIDS di Lokalisasi Pelacuran di Kabupaten Banyuwangi’, Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 24, No.3, hal. 120-129.
[5]   Kenderwis & Yustina, Ida 2010, ‘Kemampuan Tawar Pekerja Seks Komersial dalam Penggunaan Kondom untuk Mencegah Penularan HIV-AIDS di Jalan Lintas Sumatera Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara’, Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 26, No. 1, hal. 22-28.
 

No comments:

Post a Comment