Tuesday, February 26, 2013

GAMBARAN PERILAKU PENGGUNAAN KONDOM DI KALANGAN PEKERJA BERPINDAH (MOBILE MAN) YANG MENJADI PELANGGAN WPS



PENDAHULUAN
Prevalensi infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil Survey Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2007, prevalensi gonore dan klamidia pada wanita penjaja seks (WPS) masing-masing sebesar 32% dan 35%. Sementara itu, prevalensi sifilis pada WPS sebasar 14,6% dan HIV sebesar 10,4%. Tingginya prevalensi IMS di kalangan penjaja seks komersial merupakan akibat dari perilaku seksual beresiko. Seorang wanita penjaja seks (WPS) bisa melayani lebih dari satu orang pelanggan. Perilaku berganti-ganti pasangan seksual inilah yang berpotensi menularkan IMS. Pada kelompok lelaki pelanggan, penularan IMS dapat berlanjut kepada pasangan tetapnya/ istri. Sebagai imbasnya, kejadian IMS ini tidak hanya menular di kalangan penjaja seks, tetapi sudah mulai merambah pada populasi umum seperti ibu rumah tangga.
Penularan IMS kepada ibu rumah tangga terjadi melalui hubungan seks dengan suami yang kemungkinan besar merupakan pelanggan dari wanita penjaja seks. Saat ini, fenomena suami yang menjadi pelanggan dari WPS sangat banyak ditemukan. Salah satu kelompok yang biasa menjadi pelanggan WPS adalah lelaki pekerja berpindah (mobile man) seperti supir truk, supir bus antarprovinsi, pelaut, pekerja konstruksi bahkan kalangan eksekutif yang sering bepergian ke luar kota.
Merebaknya fenomena pemanfaatan jasa seks oleh pekerja berpindah didorong oleh berbagai faktor.  Faktor pertama adalah karena kebutuhan biologis untuk berhubungan seksual. Dorongan untuk melakukan hubungan seksual bisa datang kapan saja. Akan tetapi, karena pasangan tetap/ istri tidak selalu ada, maka pelampiasannya adalah kepada WPS. Faktor kedua yang juga membuat lelaki pekerja berpindah melakukan hubungan seksual dengan WPS adalah karena tersedianya sarana dan prasarana untuk melakukan hal tersebut. Di sepanjang jalan Pantura misalnya, pangkalan WPS dapat dengan mudah ditemukan di pinggiran jalan. Dengan tarif yang tidak terlalu mahal, para lelaki ini bisa melepaskan lelah sambil menyalurkan hasrat seksualnya kepada WPS yang disewanya.
Perilaku seksual beresiko yang dilakukan oleh lelaki pekerja berpindah ini ternyata tidak diimbangi dengan upaya pencegahan penularan IMS. Padahal, sebenarnya penularan IMS dapat dicegah salah satunya dengan penggunaan kondom. Minimnya kesadaran dan pengetahuan dari pelanggan jasa seks juga menjadi salah satu faktor yang membuat upaya pencegahan penularan IMS sulit dilakukan. Selain itu, selama ini intervensi hanya terfokus pada WPS, sementara intervensi terhadap pelanggan masih diabaikan. Padahal, dalam kenyataannya, justru pelanggan jasa seks yang sebagian besar adalah lelaki pekerja berpindah (mobile man) merupakan populasi kunci yang berpotensi menularkan IMS kepada populasi yang lebih luas, yakni lewat pasangan tetapnya/ istrinya.

PENGGUNAAN KONDOM DI KALANGAN PEKERJA BERPINDAH (MOBILE MAN)
Kelompok pekerja berpindah/ mobile man merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap perilaku beresiko. Faktor pekerjaan membuat mereka lebih banyak berada di luar rumah sehingga waktu yang tersedia untuk melepaskan dorongan seksual kepada pasangan tetapnya (istrinya) menjadi sangat terbatas. Sementara itu, keinginan untuk melakukan hubungan seksual merupakan suatu dorongan biologis yang bisa muncul kapan saja. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan pekerja berpindah memilih untuk melepaskan dorongan seksualnya kepada wanita penjaja seks (WPS).
Di Indonesia, fenomena pekerja berpindah yang memanfaatkan jasa WPS sangat mudah ditemukan, terutama di titik-titik jalur perjalanan utama antarkota seperti jalur Pantai Utara (Pantura) dan jalur lintas Sumatera. Biasanya, pekerja yang memanfaatkan jasa ini adalah supir-supir truk yang biasa melintas di jalur ini. Supir-supir truk ini melakukan hubungan seksual ketika mereka sedang singgah untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Selain Pantura dan lintas Sumatera, pelabuhan-pelabuhan juga merupakan salah satu tempat yang dijadikan tempat transaksi antara para pekerja berpindah dengan WPS. Jika di Pantura dan lintas Sumatera sebagian besar pekerja berpindah berprofesi sebagai supir, maka di pelabuhan pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS bervariasi dari supir truk, nelayan hingga para pelaut.
Dalam melakukan transaksi penjualan jasa seks, biasanya terdapat proses tawar-menawar antara WPS dengan pekerja berpindah yang menjadi pelanggannya. Tawar-menawar itu berkaitan dengan harga yang harus dibayar oleh pelanggan dan juga seringkali terkait hubungan seks yang akan dilakukan. Tidak jarang, WPS meminta pelanggan untuk memakai kondom sebelum melakukan hubungan seksual. Akan tetapi, sebagian besar pelanggan menolak untuk memakai kondom dengan alasan bahwa penggunaan kondom akan mengurangi kenikmatan saat melakukan hubungan seksual. Selain itu menurut pengakuan WPS, penggunaan kondom akan menurunkan tarif yang harus dibayar oleh pelanggan. Akhirnya karena dua alasan ini, banyak hubungan seksual antara pekerja berpindah dengan WPS dilakukan tanpa menggunakan kondom.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan kondom di kalangan pelanggan jasa seks masih sangat rendah. Berdasarkan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi penggunaan kondom di kalangan pelanggan hanya sebesar 20%. Pada penelitian lain yang dilakukan terhadap pekerja berpindah di wilayah Pantai Utara Jawa dan Sumatera Utara pada tahun 2007, diketahui bahwa jumlah responden yang mengaku menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seks terakhir hanya sebanyak 16%.
Rendahnya penggunaan kondom di kalangan pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor pertama adalah persepsi dari pelanggan bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan saat berhubungan seksual. Alasan lainnya adalah pelanggan merasa kerepotan saat harus menggunakan kondom sebelum melakukan hubungan seks. Faktor kedua yang menyebabkan pelanggan enggan menggunakan kondom adalah kurangnya pengetahuan pelanggan akan resiko hubungan seksual tidak aman. Pelanggan seringkali tidak menyadari bahwa dirinya berpotensi untuk tertular berbagai infeksi menular seksual dari WPS yang melayaninya. Hal lain yang seringkali diabaikan pelanggan adalah bahwa dirinya juga dapat membawa infeksi menular seksual yang didapat dari WPS dan menularkannya kepada pasangan tetapnya (istri) di rumah. Kondisi inilah yang berujung pada tingginya kasus IMS di kalangan ibu rumah tangga.
Selain persepsi dan pengetahuan pelanggan, kemampuan tawar dari WPS juga sangat mempengaruhi pelanggan untuk menggunakan kondom. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2010, diketahui bahwa tidak sedikit WPS yang menawarkan kondom kepada pelanggannya sebelum melakukan hubungan seksual. Dari sejumlah WPS yang menawarkan penggunaan kondom, sekitar 54,8% WPS mengaku tidak akan melayani pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. Sayangnya, pada kondisi lain lebih banyak ditemukan WPS yang akhirnya mengalah kepada pelanggan dengan alasan jika hubungan seks dilakukan dengan menggunakan kondom, tarif yang dibayarkan kepada WPS menjadi jauh lebih rendah. Faktor ekonomi yang akhirnya membuat WPS mengikuti keinginan pelanggan untuk melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom.
Fenomena penggunaan kondom di kalangan pelanggan WPS di Indonesia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sangat berbeda dengan yang terjadi di Thailand. Selain karena adanya regulasi yang mewajibkan pelanggan harus memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan WPS, WPS di Thailand juga dilatih untuk bisa memakaikan kondom kepada pelanggannya. Pemasangan kondom oleh WPS kepada pelanggannya dilakukan dengan cara khusus sehingga pelanggan tidak merasa kerepotan ataupun risih ketika memakai kondom. Dengan cara ini, maka persepsi bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan saat berhubungan seksual dapat dikikis sedikit demi sedikit.
Dua langkah yang dilakukan oleh pemerintah Thailand perlu dicontoh oleh Indonesia. Selain dua langkah di atas, peningkatan pengetahuan kepada para pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS juga perlu dilakukan. Selama ini intervensi lebih banyak dilakukan kepada kelompok WPS, sementara edukasi kepada pelanggan jarang sekali dilakukan. Kurangnya pengetahuan pelanggan tentang perilaku seksual beresiko, pencegahan dan penularan IMS merupakan salah satu hal yang membuat negosiasi antara WPS dan pelanggan menjadi sulit dilakukan. Hal ini berkaitan juga dengan kesadaran pelanggan bahwa dirinya beresiko tertular infeksi menular seksual dari WPS yang melayaninya. Tanpa pengetahuan yang komprehensif, maka kesadaran tersebut tidak akan tumbuh.
Kesadaran lain yang tidak kalah penting untuk ditanamkan kepada pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS adalah bahwa perilaku seksual beresiko yang dilakukan dengan wanita penjaja seks juga dapat menularkan infeksi menular seksual kepada pasangan tetapnya (istri) di rumah. Seperti telah dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa pekerja berpindah yang melakukan hubungan seksual dengan WPS di tempat-tempat mereka singgah dapat membawa infeksi menular seksual kepada pasangan tetapnya (istri). Wanita penjaja seks (WPS) yang telah melayani lebih dari satu pelanggan tentunya berpotensi untuk mengalami infeksi menular seksual. Infeksi ini kemudian bisa ditularkan kepada pekerja berpindah yang menjadi pelanggannya. Selanjutnya, ketika pekerja berpindah ini pulang ke rumah dan melakukan hubungan seksual dengan istrinya, maka infeksi menular seksual juga akan menyebar kepada istrinya bahkan jika terjadi kehamilan, infeksi mungkin menular ke anaknya.
Luasnya penyebaran infeksi menular seksual ini sebenarnya dapat dicegah salah satunya dengan penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menggalakkan penggunaan kondom pada kelompok beresiko termasuk para pelanggan jasa seks. Penyediaan kondom gratis di tempat-tempat transaksi antara pelanggan dan WPS merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan. Akan tetapi, hasilnya masih belum maksimal karena berbagai alasan yang telah disebutkan di atas.


KESIMPULAN
Penggunaan kondom di kalangan pekerja berpindah (mobile man) yang menjadi pelanggan jasa seks masih relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah karena persepsi bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan saat melakukan hubungan seksual. Minimnya penggunaan kondom yang merupakan salah satu pencegah penularan IMS ini merupakan salah satu hal yang menyebabkan menyebarnya penularan IMS ke populasi umum. Pekerja berpindah yang berhubungan seks dengan WPS tanpa menggunakan kondom dapat membawa organisme penyebab IMS pada alat kelaminnya yang kemudian dapat menularkan kepada pasangan tetapnya/ istrinya di rumah. Intervensi berupa edukasi mutlak diperlukan terhadap para pekerja berpindah yang menjadi pelanggan jasa seks agar kesadaran tentang bahaya penularan IMS dapat tumbuh dalam diri mereka, sehingga perilaku penggunaan kondom di kalangan pelanggan dapat meningkat.  


DAFTAR PUSTAKA 
[1]   Arifianti, NA, et all 2008, ‘Analisis Faktor-Faktor Penyebab Niat Wanita Pekerja Seks (WPS) yang Menderita IMS Berperilaku Seks Aman (Safe Sex) dalam Melayani Pelanggan’, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, Vol. 3, No. 2, hal. 102-114. 
[2]   Dadun, et all 2011, ‘Perilaku Seks Tak Aman Pekerja Berpindah di Pantai Utara Jawa dan Sumatera Utara Tahun 2007’, Jurnal Kesehatan Reproduksi, Vol. 1, No. 2, hal. 92-101.
[3]   Depkes RI 2009, Analisis Kecenderungan Perilaku Beresiko terhadap HIV-AIDS di Indonesia; Laporan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku Tahun 2007, Depkes RI, Jakarta.
[4]   Hafrida, et all 2008, ‘Evaluasi Promosi Penggunaan Kondom untuk Mencegah HIV-AIDS di Lokalisasi Pelacuran di Kabupaten Banyuwangi’, Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 24, No.3, hal. 120-129.
[5]   Kenderwis & Yustina, Ida 2010, ‘Kemampuan Tawar Pekerja Seks Komersial dalam Penggunaan Kondom untuk Mencegah Penularan HIV-AIDS di Jalan Lintas Sumatera Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara’, Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 26, No. 1, hal. 22-28.
 

PERAN KOMUNIKASI DALAM KESEHATAN MASYARAKAT



Kesehatan masyarakat (Kesmas) merupakan salah satu cabang dari ilmu kesehatan yang berfokus pada masyarakat. Permasalahan kesehatan dalam kesmas tidak dipandang dari sisi individu, tetapi secara keseluruhan di dalam masyarakat. Dalam konteks ini, komunikasi menjadi penting mengingat ilmu kesmas berhubungan langsung dengan masyarakat yang merupakan sekumpulan orang yang memiliki latar belakang ilmu, budaya, adat-istiadat dan kebiasaan yang berbeda-beda. 
Pentingnya komunikasi dalam kesmas dapat dijabarkan melalui 3 fungsi inti kesmas. Dalam prakteknya, ilmu kesmas memiliki 3 fungsi inti yaitu fungsi assessment, policy development dan assurance. Ketiga fungsi ini harus dilaksanakan secara sistematis, sehingga tujuan akhir untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh dapat tercapai.
Pada tahap pertama, dalam menjalankan fungsi assessment atau penilaian, komunikasi sangat diperlukan untuk memahami betul kebutuhan kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. Kebutuhan kesehatan masyarakat tidak akan sama satu dengan yang lain. Misalnya saja kebutuhan pelayanan kesehatan antara masyarakat desa dan kota tentu tidak sama. Untuk mengetahui kebutuhan kesehatan masyarakat, maka komunikasi dilakukan. Sebagai contoh, Gubernur DKI Jakarta saat ini, Bapak Joko Widodo, terjun langsung ke masyarakat DKI Jakarta dan berkomunikasi langsung dengan mereka untuk mengetahui kondisi kesehatan warga DKI dan menilai pelayanan apa yang memang sangat dibutuhkan oleh warga DKI saat ini.
Berdasarkan hasil penilaian kebutuhan (assessment), kemudian dibuatlah kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat. Bayangkan jika tidak adanya komunikasi antara pembuat kebijakan dan masyarakat, maka kebutuhan kesehatan tidak akan terpenuhi. Misalnya saja di suatu daerah terdapat fasilitas pelayanan kesehatan. Akan tetapi, jaraknya cukup jauh sehingga membutuhkan waktu yang lama bagi warga yang sakit untuk dapat mencapai fasilitas kesehatan tersebut. Dalam kasus ini, yang diperlukan warga adalah akses yang mempermudah warga ke pelayanan kesehatan seperti transportasi. Namun karena tidak adanya komunikasi, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan dengan menambah tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Kebijakan ini mungkin tidak sepenuhnya salah, akan tetapi belum tepat untuk mengatasi sulitnya akses warga ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Setelah kebijakan dibuat, fungsi terakhir dari kesmas adalah fungsi assurance, mengawasi pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat. Dalam fungsi ini, tenaga kesmas juga bertugas memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait kebijakan yang telah dibuat. Pemberian informasi dan edukasi yang dilakukan kepada masyarakat tentunya memerlukan komunikasi sebagai medianya. Sebagai contoh, untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok, Departemen Kesehatan membuat poster-poster yang berisi gambar-gambar organ tubuh yang rusak akibat kebiasaan merokok. Poster-poster ini merupakan suatu bentuk komunikasi massa yang berisi pesan kesehatan. Dengan gambar yang menyeramkan diharapkan masyarakat menjadi sadar akan bahaya merokok dan mulai mengurangi kebiasaan merokok.
Selain pemberian informasi dan edukasi, kesmas juga berperan membangun kemitraan antara pemangku kekuasaan dengan berbagai elemen masyarakat. Untuk menjadi jembatan antara masyarakat dan pengambil kebijakan, maka tenaga kesmas harus menguasai teknik komunikasi yang baik. Teknik komunikasi efektif diperlukan oleh tenaga kesmas karena dalam menjalankan fungsinya, tenaga kesmas akan berhadapan dengan orang-orang yang berbeda. Misalnya saja ketika berhadapan dengan pemangku kekuasaan/ pengambil kebijakan, maka teknik berkomunikasinya akan berbeda ketika berhadapan dengan masyarakat biasa. Contoh lain, ketika berhadapan dengan masyarakat yang mempunyai kebudayaan atau kepercayaan tertentu, maka cara berkomunikasi pun harus disesuaikan agar tercapai kesepahaman antar kedua belah pihak.
Beberapa ilustrasi di atas merupakan gambaran pentingnya komunikasi dalam kesehatan masyarakat. Berbicara tentang kesehatan masyarakat artinya berbicara tentang suatu sistem yang harus dijalankan secara berurutan sehingga semua elemennya dapat terlaksana dengan baik. Untuk mencapai tujuan ini, maka komunikasi sangat diperlukan agar semua komponen dalam kesehatan masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik sehingga derajat kesehatan masyarakat dapat dicapai setinggi-tingginya.   

Tuesday, January 10, 2012

Tentang 11 Pejuang...


Mungkin benar kata orang, ketika kita menikmati segala sesuatu yang kita lakukan, maka waktu akan terasa begitu cepat, sampai-sampai kita tak sadar kalau kita telah berada di penghujungnya. Ya itulah yang saya rasakan selama 1 tahun berada di Departemen Kemuslimahan (Muslimah Center). Segala amanah yang harus dilaksanakan terasa begitu ringan karena ada teman-teman yang saling membantu memikul tanggung jawab atas keberlangsungan syiar kemuslimahan di kampus tercinta. Dan, di akhir dari serangkaian perjalanan ini, izinkan saya mengungkap kerinduan pada semua personil MoC lewat kesan dan pesan saya berikut :


  •  For our chief, kakak kadept tercinta, yang biasa dipanggil “Mbok” oleh teman-teman, terima kasih banyak atas segala bimbingannya, perhatiannya, yang tak pernah absen untuk memberikan jarkom setiap malam, heheee…. Terima kasih sudah memberi saya kesempatan untuk menjadi bagian dari MoC… ^.^
    Tetap SEMANGAT, Kakak… Semoga Sukses untuk ke depannya…
  • Kakak deputi internal yang baik, “ummi”nya MoC, terima kasih atas segala bentuk perhatian yang kakak curahkan khususnya untuk saya, atas segala kejutan-kejutan manisnya, juga untuk semua waktu yang kakak sisihkan hanya untuk menutupi tanggung jawab yang saya lalaikan.
    SEMANGAT untuk sidangnya nanti ya, Kak… ^.^
  • Untuk kakak deputi eksternal yang selalu ceria, terima kasih banyak atas semua energi positif yang kakak tularkan untuk saya khususnya dan teman-teman pada umumnya.
    SEMANGAT terus untuk kepengurusan selanjutnya ya, Kak… ^.^
  • Kakak yang satu ini, yang selalu meramaikan MoC, sering mengibaratkan dirinya sebagai “ikhwan”nya MoC, terima kasih banyak atas semua keceriaan yang kakak bagi di MoC, atas waktunya juga di tengah kesibukan menyusun skripsinya masih berkenan menyempatkan diri hadir di syuro’ MoC, Terima Kasih Banyak Kak…
    Selamat atas kelulusannya… ^.^
  • Kakak cantik yang baik, terima kasih atas segala kerjasamanya selama di MoC. Terima kasih telah menyempatkan segala waktunya untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan MoC, meskipun sebenarnya kakak punya kesibukan yang cukup padat.
    Sukses selalu ya Kak di segala aktivitasnya… ^.^
  • Temanku yang baik, PJ Magang dan PJ Merajut,,, terima kasih untuk setiap senyum yang diberikan setiap kali kita ketemu. Senang bisa kenal dengan dirimu.
    Sukses terus yaa temanku yang baik… ^.^
  • Ibu duta yang satu ini emang Te-O-Pe deh. Terima kasih yaa atas ide-idenya di acara MoC.
    Sukses terus dalam karirnya…^.^
  • Untuk temanku yang baik, Ibu PJ Kismis,,, terima kasih selama ini sudah sering menemani ke mana saya pergi, heheee… terima kasih untuk kesetiaannya bareng-bareng di beberapa kepanitiaan.
    Sukses terus yaa, kawan… Semoga tahun ini kita bisa bareng-bareng lagi… ^.^

  • Teman ta’ ukhtiku yang baik, terima kasih banyak untuk segala bentuk perhatian yang telah diberikan. Kapan-kapan kita nge-date lagi yuk,,, hehehe…
    Sukses yaa di organisasinya… ^.^

  • Yang ini adalah penyokong keuangan MoC, PJ Danus yang keren deh. Terima kasih yaa atas kesediaanya mengurus danus MoC.
    Sukses terus untuk ke depannya… ^.^

Yah, itulah sekelumit unek-unek saya tentang 10 Srikandi MoC (11 termasuk saya). Intinya, saya sangat bersyukur bisa jadi bagian dari mereka semua. Saya juga ingin sekali berterima kasih pada mereka atas segala suka-duka, senyum-tangis, segala hal yang telah mereka bagi, karena dibalik itu semua banyak sekali hikmah yang dapat saya petik.
Semoga Allah Swt. berkenan untuk menjaga ikatan ukhuwah yang terjalin diantara kami semua sampai di jannah-Nya,,,,
Aamiin…

Serang, 10 Januari 2012

Psikologi dan Kesehatan Masyarakat


Kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya, diperlukan suatu upaya yang dikenal dengan istilah kesehatan masyarakat. Menurut Winslow, Kesehatan Masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat untuk:  
a.       Perbaikan sanitasi lingkungan;
b.      Pemberantasan penyakit-penyakit menular;
c.       Pendidikan untuk kebersihan perorangan;
d.      Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan;
e.       Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya.

Ditinjau dari pengertiannya, kesehatan masyarakat mencakup aspek pengorganisasian masyarakat. Ketika berbicara tentang masyarakat, berarti yang dibicarakan adalah sekelompok individu. Di sinilah ilmu psikologi diperlukan dalam rangka mencapai tujuan dari kesehatan masyarakat.
Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Secara istilah, psikologi berarti ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses mental (Feldman:2008). Sebagai ilmu, Psikologi mempelajari berbagai aspek manusia mulai dari perkembangannya, cara berpikir, proses belajar dan segala hal terkait perilaku manusia.
Sejalan dengan kesehatan masyarakat yang lebih menekankan usaha preventif (pencegahan) dan promotif, aspek utama yang menjadi sasaran adalah aspek perilaku. Dalam hal ini, Psikologi dibutuhkan untuk membantu mempelajari dan memahami perilaku individu sehingga pendekatan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan kesehatan masyarakat dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran.
Sebagai contoh, dalam upaya penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) pada anak. Sebelum memberikan intervensi, harus dipahami terlebih dahulu bagaimana cara penyampaian yang baik kepada anak supaya anak bisa mengerti apa pentingnya menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Tentu saja penyampaian materi terkait PHBS pada anak tidak bisa disamakan dengan penyampaian materi PHBS terhadap Ibu Rumah Tangga karena secara umur, kedua kelompok tersebut jauh berbeda dan ini berarti pola pikir keduanya pun berbeda.  Dengan ilmu psikologi, dapat diketahui bagaimana karakteristik individu yang menjadi sasaran program kesehatan masyarakat. Setelah diketahui karakteristiknya, barulah dapat dikembangkan pendekatan yang tepat untuk sasaran program kesehatan masyarakat.
Selain mempelajari karakteristik individu, psikologi juga mempelajari proses belajar manusia. Dari berbagai macam proses belajar, dapat dipilih salah satu alternatif pembelajaran yang dinilai cukup efektif dalam penerapan program kesehatan masyarakat. Misalnya dalam membiasakan anak menggosok gigi sebelum tidur, orang tua menerapkan proses belajar yang dikembangkan oleh Skinner. Agar anak mau menggosok gigi setiap hari, orang tua menjanjikan hadiah kepada anaknya apabila anaknya mau menggosok gigi sebelum tidur.
Dua contoh di atas hanya sebagian kecil gambaran kaitan psikologi dengan kesehatan masyarakat. Intinya adalah kedua ilmu tersebut sama-sama mempelajari aspek perilaku dan dalam hal ini, psikologi memberikan andil dalam membantu memahami karakteristik individu yang menjadi sasaran program kesehatan masyarakat, sehingga dapat direncanakan pendekatan yang sesuai agar program yang dijalankan dapat diterima oleh sasaran yang dituju.










Daftar Pustaka
Feldman, Robert S. 2008. Understanding Psychology,8th Edition. New York:Mc Graw Hill.
Notoatmodjo, Soekidjo.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat ; Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta : Rineka Cipta.