PENDAHULUAN
Prevalensi
infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan
hasil Survey Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2007, prevalensi gonore dan
klamidia pada wanita penjaja seks (WPS) masing-masing sebesar 32% dan 35%.
Sementara itu, prevalensi sifilis pada WPS sebasar 14,6% dan HIV sebesar 10,4%.
Tingginya prevalensi IMS di kalangan penjaja seks komersial merupakan akibat
dari perilaku seksual beresiko. Seorang wanita penjaja seks (WPS) bisa melayani
lebih dari satu orang pelanggan. Perilaku berganti-ganti pasangan seksual inilah
yang berpotensi menularkan IMS. Pada kelompok lelaki pelanggan, penularan IMS
dapat berlanjut kepada pasangan tetapnya/ istri. Sebagai imbasnya, kejadian IMS
ini tidak hanya menular di kalangan penjaja seks, tetapi sudah mulai merambah
pada populasi umum seperti ibu rumah tangga.
Penularan
IMS kepada ibu rumah tangga terjadi melalui hubungan seks dengan suami yang
kemungkinan besar merupakan pelanggan dari wanita penjaja seks. Saat ini,
fenomena suami yang menjadi pelanggan dari WPS sangat banyak ditemukan. Salah
satu kelompok yang biasa menjadi pelanggan WPS adalah lelaki pekerja berpindah
(mobile man) seperti supir truk, supir
bus antarprovinsi, pelaut, pekerja konstruksi bahkan kalangan eksekutif yang
sering bepergian ke luar kota.
Merebaknya
fenomena pemanfaatan jasa seks oleh pekerja berpindah didorong oleh berbagai
faktor. Faktor pertama adalah karena
kebutuhan biologis untuk berhubungan seksual. Dorongan untuk melakukan hubungan
seksual bisa datang kapan saja. Akan tetapi, karena pasangan tetap/ istri tidak
selalu ada, maka pelampiasannya adalah kepada WPS. Faktor kedua yang juga
membuat lelaki pekerja berpindah melakukan hubungan seksual dengan WPS adalah
karena tersedianya sarana dan prasarana untuk melakukan hal tersebut. Di
sepanjang jalan Pantura misalnya, pangkalan WPS dapat dengan mudah ditemukan di
pinggiran jalan. Dengan tarif yang tidak terlalu mahal, para lelaki ini bisa
melepaskan lelah sambil menyalurkan hasrat seksualnya kepada WPS yang
disewanya.
Perilaku
seksual beresiko yang dilakukan oleh lelaki pekerja berpindah ini ternyata
tidak diimbangi dengan upaya pencegahan penularan IMS. Padahal, sebenarnya
penularan IMS dapat dicegah salah satunya dengan penggunaan kondom. Minimnya
kesadaran dan pengetahuan dari pelanggan jasa seks juga menjadi salah satu
faktor yang membuat upaya pencegahan penularan IMS sulit dilakukan. Selain itu,
selama ini intervensi hanya terfokus pada WPS, sementara intervensi terhadap
pelanggan masih diabaikan. Padahal, dalam kenyataannya, justru pelanggan jasa seks
yang sebagian besar adalah lelaki pekerja berpindah (mobile man) merupakan populasi kunci yang berpotensi menularkan IMS
kepada populasi yang lebih luas, yakni lewat pasangan tetapnya/ istrinya.
PENGGUNAAN
KONDOM DI KALANGAN PEKERJA BERPINDAH (MOBILE
MAN)
Kelompok
pekerja berpindah/ mobile man
merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap perilaku beresiko. Faktor
pekerjaan membuat mereka lebih banyak berada di luar rumah sehingga waktu yang
tersedia untuk melepaskan dorongan seksual kepada pasangan tetapnya (istrinya)
menjadi sangat terbatas. Sementara itu, keinginan untuk melakukan hubungan
seksual merupakan suatu dorongan biologis yang bisa muncul kapan saja. Hal
inilah yang akhirnya menyebabkan pekerja berpindah memilih untuk melepaskan
dorongan seksualnya kepada wanita penjaja seks (WPS).
Di
Indonesia, fenomena pekerja berpindah yang memanfaatkan jasa WPS sangat mudah
ditemukan, terutama di titik-titik jalur perjalanan utama antarkota seperti
jalur Pantai Utara (Pantura) dan jalur lintas Sumatera. Biasanya, pekerja yang
memanfaatkan jasa ini adalah supir-supir truk yang biasa melintas di jalur ini.
Supir-supir truk ini melakukan hubungan seksual ketika mereka sedang singgah
untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Selain Pantura dan
lintas Sumatera, pelabuhan-pelabuhan juga merupakan salah satu tempat yang
dijadikan tempat transaksi antara para pekerja berpindah dengan WPS. Jika di
Pantura dan lintas Sumatera sebagian besar pekerja berpindah berprofesi sebagai
supir, maka di pelabuhan pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS
bervariasi dari supir truk, nelayan hingga para pelaut.
Dalam
melakukan transaksi penjualan jasa seks, biasanya terdapat proses tawar-menawar
antara WPS dengan pekerja berpindah yang menjadi pelanggannya. Tawar-menawar
itu berkaitan dengan harga yang harus dibayar oleh pelanggan dan juga
seringkali terkait hubungan seks yang akan dilakukan. Tidak jarang, WPS meminta
pelanggan untuk memakai kondom sebelum melakukan hubungan seksual. Akan tetapi,
sebagian besar pelanggan menolak untuk memakai kondom dengan alasan bahwa
penggunaan kondom akan mengurangi kenikmatan saat melakukan hubungan seksual.
Selain itu menurut pengakuan WPS, penggunaan kondom akan menurunkan tarif yang
harus dibayar oleh pelanggan. Akhirnya karena dua alasan ini, banyak hubungan
seksual antara pekerja berpindah dengan WPS dilakukan tanpa menggunakan kondom.
Beberapa
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan kondom di kalangan
pelanggan jasa seks masih sangat rendah. Berdasarkan Survei Terpadu Biologis
dan Perilaku tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi penggunaan kondom di
kalangan pelanggan hanya sebesar 20%. Pada penelitian lain yang dilakukan
terhadap pekerja berpindah di wilayah Pantai Utara Jawa dan Sumatera Utara pada
tahun 2007, diketahui bahwa jumlah responden yang mengaku menggunakan kondom
pada saat melakukan hubungan seks terakhir hanya sebanyak 16%.
Rendahnya
penggunaan kondom di kalangan pekerja berpindah yang menjadi pelanggan WPS ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor pertama adalah persepsi dari pelanggan
bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan saat berhubungan seksual.
Alasan lainnya adalah pelanggan merasa kerepotan saat harus menggunakan kondom
sebelum melakukan hubungan seks. Faktor kedua yang menyebabkan pelanggan enggan
menggunakan kondom adalah kurangnya pengetahuan pelanggan akan resiko hubungan
seksual tidak aman. Pelanggan seringkali tidak menyadari bahwa dirinya
berpotensi untuk tertular berbagai infeksi menular seksual dari WPS yang
melayaninya. Hal lain yang seringkali diabaikan pelanggan adalah bahwa dirinya
juga dapat membawa infeksi menular seksual yang didapat dari WPS dan
menularkannya kepada pasangan tetapnya (istri) di rumah. Kondisi inilah yang
berujung pada tingginya kasus IMS di kalangan ibu rumah tangga.
Selain
persepsi dan pengetahuan pelanggan, kemampuan tawar dari WPS juga sangat
mempengaruhi pelanggan untuk menggunakan kondom. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan pada tahun 2010, diketahui bahwa tidak sedikit WPS yang menawarkan
kondom kepada pelanggannya sebelum melakukan hubungan seksual. Dari sejumlah
WPS yang menawarkan penggunaan kondom, sekitar 54,8% WPS mengaku tidak akan
melayani pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. Sayangnya, pada kondisi
lain lebih banyak ditemukan WPS yang akhirnya mengalah kepada pelanggan dengan
alasan jika hubungan seks dilakukan dengan menggunakan kondom, tarif yang
dibayarkan kepada WPS menjadi jauh lebih rendah. Faktor ekonomi yang akhirnya
membuat WPS mengikuti keinginan pelanggan untuk melakukan hubungan seksual
tanpa menggunakan kondom.
Fenomena
penggunaan kondom di kalangan pelanggan WPS di Indonesia seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya sangat berbeda dengan yang terjadi di Thailand. Selain
karena adanya regulasi yang mewajibkan pelanggan harus memakai kondom jika
melakukan hubungan seksual dengan WPS, WPS di Thailand juga dilatih untuk bisa
memakaikan kondom kepada pelanggannya. Pemasangan kondom oleh WPS kepada
pelanggannya dilakukan dengan cara khusus sehingga pelanggan tidak merasa
kerepotan ataupun risih ketika memakai kondom. Dengan cara ini, maka persepsi
bahwa penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan saat berhubungan seksual
dapat dikikis sedikit demi sedikit.
Dua
langkah yang dilakukan oleh pemerintah Thailand perlu dicontoh oleh Indonesia.
Selain dua langkah di atas, peningkatan pengetahuan kepada para pekerja
berpindah yang menjadi pelanggan WPS juga perlu dilakukan. Selama ini
intervensi lebih banyak dilakukan kepada kelompok WPS, sementara edukasi kepada
pelanggan jarang sekali dilakukan. Kurangnya pengetahuan pelanggan tentang
perilaku seksual beresiko, pencegahan dan penularan IMS merupakan salah satu
hal yang membuat negosiasi antara WPS dan pelanggan menjadi sulit dilakukan. Hal
ini berkaitan juga dengan kesadaran pelanggan bahwa dirinya beresiko tertular
infeksi menular seksual dari WPS yang melayaninya. Tanpa pengetahuan yang
komprehensif, maka kesadaran tersebut tidak akan tumbuh.
Kesadaran
lain yang tidak kalah penting untuk ditanamkan kepada pekerja berpindah yang
menjadi pelanggan WPS adalah bahwa perilaku seksual beresiko yang dilakukan
dengan wanita penjaja seks juga dapat menularkan infeksi menular seksual kepada
pasangan tetapnya (istri) di rumah. Seperti telah dijelaskan di bagian sebelumnya
bahwa pekerja berpindah yang melakukan hubungan seksual dengan WPS di
tempat-tempat mereka singgah dapat membawa infeksi menular seksual kepada
pasangan tetapnya (istri). Wanita penjaja seks (WPS) yang telah melayani lebih
dari satu pelanggan tentunya berpotensi untuk mengalami infeksi menular
seksual. Infeksi ini kemudian bisa ditularkan kepada pekerja berpindah yang
menjadi pelanggannya. Selanjutnya, ketika pekerja berpindah ini pulang ke rumah
dan melakukan hubungan seksual dengan istrinya, maka infeksi menular seksual
juga akan menyebar kepada istrinya bahkan jika terjadi kehamilan, infeksi
mungkin menular ke anaknya.
Luasnya
penyebaran infeksi menular seksual ini sebenarnya dapat dicegah salah satunya
dengan penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menggalakkan penggunaan kondom pada kelompok beresiko termasuk
para pelanggan jasa seks. Penyediaan kondom gratis di tempat-tempat transaksi
antara pelanggan dan WPS merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan. Akan
tetapi, hasilnya masih belum maksimal karena berbagai alasan yang telah
disebutkan di atas.
Penggunaan
kondom di kalangan pekerja berpindah (mobile
man) yang menjadi pelanggan jasa seks masih relatif rendah. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah karena persepsi bahwa
penggunaan kondom dapat mengurangi kenikmatan saat melakukan hubungan seksual.
Minimnya penggunaan kondom yang merupakan salah satu pencegah penularan IMS ini
merupakan salah satu hal yang menyebabkan menyebarnya penularan IMS ke populasi
umum. Pekerja berpindah yang berhubungan seks dengan WPS tanpa menggunakan
kondom dapat membawa organisme penyebab IMS pada alat kelaminnya yang kemudian
dapat menularkan kepada pasangan tetapnya/ istrinya di rumah. Intervensi berupa
edukasi mutlak diperlukan terhadap para pekerja berpindah yang menjadi
pelanggan jasa seks agar kesadaran tentang bahaya penularan IMS dapat tumbuh
dalam diri mereka, sehingga perilaku penggunaan kondom di kalangan pelanggan
dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Arifianti, NA, et all 2008, ‘Analisis
Faktor-Faktor Penyebab Niat Wanita Pekerja Seks (WPS) yang Menderita IMS
Berperilaku Seks Aman (Safe Sex) dalam Melayani Pelanggan’, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, Vol.
3, No. 2, hal. 102-114.
[2] Dadun,
et all 2011, ‘Perilaku Seks Tak Aman
Pekerja Berpindah di Pantai Utara Jawa dan Sumatera Utara Tahun 2007’, Jurnal Kesehatan Reproduksi, Vol. 1, No.
2, hal. 92-101.
[3]
Depkes RI 2009, Analisis Kecenderungan Perilaku Beresiko terhadap HIV-AIDS di
Indonesia; Laporan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku Tahun 2007, Depkes
RI, Jakarta.
[4] Hafrida,
et all 2008, ‘Evaluasi Promosi
Penggunaan Kondom untuk Mencegah HIV-AIDS di Lokalisasi Pelacuran di Kabupaten
Banyuwangi’, Berita Kedokteran Masyarakat,
Vol. 24, No.3, hal. 120-129.
[5] Kenderwis
& Yustina, Ida 2010, ‘Kemampuan Tawar Pekerja Seks Komersial dalam
Penggunaan Kondom untuk Mencegah Penularan HIV-AIDS di Jalan Lintas Sumatera
Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara’, Berita
Kedokteran Masyarakat, Vol. 26, No. 1, hal. 22-28.